Kisah Tragis Oei Hui Lan, Putri Orang Terkaya di Indonesia
KISAH INI ADALAH KISAH NYATA PUTRI SANG RAJA GULA YANG IA TULIS DALAM
BUKUNYA” TAK ADA PESTA YANG TAK BERAKHIR” . CUKUP MENARIK UNTUK DISIMAK
DAN SEMOGA MEMBERIKAN ANDA ILHAM DALAM KEHIDUPAN..OEI TIONG HAM ORANG TERKAYA DI ASIA TENGGARAOei
Tiong Ham, yang dijuluki Raja Gula dari Semarang pernah jadi orang
terkaya di Asia Tenggara. Ia juga berdagang candu. Berlainan dengan
Tjong A Fie, ia tidak dikenal sebagai dermawan. Sekitar tiga dasawarsa
yang lalu, putrinya Oei Hui Lan, bersama Isabella Taves, menulis memoar
yang diterbitkan di Amerika Serikat. Dari buku berjudul No Feast Last
Forever itu kita bisa tahu perihal kehidupan mereka, yang bisa membeli
apa saja dengan uang mereka yang berlimpah. Namun apakah mereka
berbahagia ?
Saya lahir di Semarang, Desember 1889 sebagai Oei
Hui Lan, putri Oei Tiong Ham yang pernah dikenal sebagai Raja Gula dan
oran terkaya di Asia Tenggara. Ibu saya istri pertamanya. Ibu hanya
mempunyai dua orang anak, kedua duanya perempuan. Kakak saya Tjong lan,
sepuluh tahun lebih tua dari saya. Ayah masih mempunyai 42 anak dari 18
gundik. Bagi orang Cina, anak gundik pun dianggap sebagai anak sah.
Saya
duga, anak ayah lebih banyak daripada itu, tetapi cuma anak laki laki
yang kelingkingnya bengkok yang diakuinya sebagai putranya. Kelingking
bengkok diwarisi ayah dari ayahnya. Tjong Lan berkelingking bengkong.
Kelingking saya lurus. Namun ayah tidak meragukan saya sebagai anaknya,
sebab mana mungkin ibu saya serong dengan pria lain.
Wajah Kakek dianggap membawa RezekiKakek
saya Oei Tjie sien berasal dari Amoy, di daratan Cina. Pada masa
mudanya ia senang bertualang. Ia terpelajar dan konon tampan seperti
Raja Umberto dari Italia, tetapi seingat saya ia pendek dan gemuk.
Karena
ikut pemberontakan Taiping, ia menjadi buronan pemerintah Mancu.
Terpaksa ia kabur ke sebuah jung yang akan berangkat. Setelah berlayar
berbulan-bulan, tibalah ia di Semarang, Jawa. Ia turun tanpa membawa
uang sepeserpun dan pakaiannya hanya yang melekat di badan. Di tempat
asing yang bahasanya sama sekali tidak dikenalnya itu, ia hanya bisa
menawarkan tenaga mudanya.
Mula-mula ia bekerja di pelabuhan,
menghela jung-jung yang kandas di lumpur. Ia menyewa penginapan murah
tempat para pendatang Cina tidur menggeletak di lantai papan. Pada suatu
malam, pemilik gubuk bambu itu melihat pemuda yang sedang tidur
kelelahan itu. Wajah pemuda itu dianggapnya membawa rezeki. Pemilik
gubuk kebetulan mempunyai banyak anak perempuan. Pemuda itu
dibangunkannya untuk dilamar menjadi menantunya. Oei Tjie sien mau saja.
Calon istrinya baru berumur 15 tahun, tubuhnya kuat dan sifatnya
penurut.
Mereka menikah tanpa pesta apa pun. Perempuan muda itu
bekerja keras membantu suaminya. Ia melahirkan tiga anak putra (yang
seorang meninggal saat masih bayi) dan empat putri. Sementara itu Oei
Tjie Sien keluar masuk kampung memikul barang kelontong. Kadang-kadang
dari kampung ia membawa beras untuk dijual di kota.
Lama kelamaan
, ia menjadi makmur berkat beras. Dikirimkannya uang ke Cina untuk
membeli pengampunan, sehingga ia bisa berkunjung ke cina, sekalian
memperkenalkan putra sulungnya, Oei Tiong Ham, kepada orang tuanya.
Petama kali diajak ke Cina itu, umur ayah baru tujuh tahun. Ia lahir 19
November 1866.
Potong Kuncir Lalu ke EropaKakek
berakar di Jawa. Anak-anaknya, bisnisnya dan bahkan makamnya pun ada di
pulau itu. Namun ia selalu menganggap dirinya orang Cina dan disebut
singkeh, tamu baru. Ia hidup seperti di Amoy, makan makanan Hokkian
saja, berbahasa Hokkian saja (ia paham bahasa Melayu tetapi cuma bisa
mengucapkan beberapa kata) dan selalu memakai pakaian cina. Karyawannya
semua orang Cina, yang berhitung dengan sempoa.
Nenek saya tidak
pernah keluar rumah, kecuali kalau ada upacara pembersihan makam
keluarga. Kegiatannya cuma main mahyong dan kadang kadang mengisap pipa
air. Ia tidak pernah mengunyah sirih, berlainan dengan nenek saya dari
pihak ibu.
Namun kakek saya Oei Tjie Sein dan tanda tangannya pun
Oei Tjie Sein. Namun ia ingin disebut Kiangwan. Perusahaannya disebut
Kian gwan kongsi. Anehnya nenek saya menganggap dirinya Kong si. Jadi
kalau menyuruh pelayan umpamanya, ia berkata ,”Kongsi ingin anu.” Kalu
berbicara dengan ayah umpamanya, ia berkata Kongsi tidak suka anu.” Ayah
juga kemudian memilih anam Tai gawan.
Menjelang lanjut usia,
kakek lebih banyak berada di rumah peristirahatannya di luar kota,
ketimbang di rumah lamanya di pecinan, walaupun kantornya tetap disana.
Soalnya, ia mempunyai dua gundik yang ditempatkan di rumah
peristirahatannya itu. Gundik yang seorang adalah seorang perempuan cina
yang cantik, yang kulitnya putih mulus seperti porselin dan rambutnya
hitam lebat. Kalau sanggulnya dilepas, rambutnya terurai mencapai mata
kaki. Kakek lekas bosan kepadanya. Perempuan itu ditempatkannya di
sebuah rumah kecil di lahan kakek yang luas itu. Makanan dan pakaiannya
dicukupi. Keluarganya boleh menjenguk sekali sekali. Namun apalah
artinya kalau kakek tidak pernah mengunjunginya. Saya heran perempuan
muda itu bisa bertahan agar tidak menjadi gila.
Di rumah utama,
kakek tinggal dengan seorang gundik yang paling dikasihinya. Perempuan
itu berkulit hitam dan wajahnya buruk. Ia bertelanjang kaki, mengenakan
sarung dan tidak bisa berbahasa Cina. Mereka memiliki dua orang anak
yang kulitnya berwarna terang. Saya tidak pernah melihatnya, sebab
ketika kakek meninggal ayah memberikan uang dan menyuruhnya pergi
bersama anak anaknya, yang tidak diakui ayah sebagai saudaranya. Gundik
kakek yang cantik dinikahkan dengan seorang karyawan ayah.
Nenek
tidak penah diundang kakek ke rumah peristirahatannya. Walaupun nenek
ingin sekali datang. Dekat rumah itu, kakek sudah menyediakan mausoleum
untuk makamnya, yang dibangun selama 25 tahun. Nenek meninggal lebih
dulu daripada kakek. Ketika kakek meninggal, ia mewariskan 10 juta
gulden atau kira kira AS$ 7 juta. Buat ukuran jawa waktu itu, jumlah itu
besar sekali.
Saat itu ayah sendiri sudah kaya. Jadi ia meminta
kakek menyerahkan rumah besar di Pecinan kepada adik ayah, yang lebih
suka menjadi seniman daripada pedagang. Adik-adik ayah yang perempuan
mendapat warisan juga. Sejumlah uang disisihkan pula untuk menolong
orang orang bermarga Oei yang memerlukan bantuan.
Sesudah kakek meninggal, ayah menjadi kepala keluarga besar kami dan
kami pun bebas melakukan hal-hal yang tadinya dilarang kakek. Yang
pertama dilakukan ayah adalah meminta izin khusus kepada penguasa
Belanda untuk memotong jalinan rambutnya. Kami pun berkunjung ke Eropa
untuk perama kalinya. Masa itu perjalanan dengan kapal makan waktu 35
hari. Bagi kakek, dunia ini cuma Cina, tetapi dunia ayah lebih luas.
Janda Yang Baik HatiSebelum ayah mulai berusaha mencari
nafkah sendiri, ia membantu kakek. Salah satu tugasnya adalah
mengumpulkan uang sewa rumah. Suatu hari, setelah berhasil menggantungi
10,000 gulden, ia lewat ke tempat perjudian dan tidak bisa mengekang
nafsunya untuk berjudi. Uang bawaannya amblas.
Keluar dari rumah
perjudian, baru ia insaf apa akibat kekalahannya di meja jugi itu. Ia
tidak punya muka untuk berhadapan dengan ayahnya karena telah berani
mempergunakan uang yang bukan miliknya. Kakek bukan hanya tidak suka
pada perjudian, tetapi juga keras terhadap anak. Ayah merasa dirinya
hina dan bermaksud menceburkan diri dari jembatan. Namun ia ingin
mengucapkan selamat berpisah dulu dari kekasihnya, seorang Janda. Janda
itu mendesak ayah untuk menerima uangnya sebanyak 10,000 gulden.
Akhirnya, ayah mau juga menerimanya. Kebaikan janda itu tidak pernah
dilupakan ayah. Ia bukan cuma mengembalikan uang itu, tetapi juga
menjamin hidup janda yang menyelamatkan nyawanya itu.
Kakek selalu hidup hemat, ayah sebaliknya. Kakek sering memarahi ayah
karena kesenangannya bermewah mewah itu. Suatu hari, karena kesel
dimarahi, ayah berkata kepada nenek,“Suatu hari kelak, saya akan lima puluh kali lebih kaya daripada ayah.“ Hal itu memang terlaksana.
Mulanya begini: Salah sebuah rumah milik kakek ditinggali seorang
Jerman yang sudah lanjut usia. Mantan konsul itu ingin sekali membeli
rumah dengan tanah luas yang mengelilinginya itu, tetapi kakek tidak mau
menjualnya. Menurut orang Cina, menjual salah satu miliknya berarti
kehilangan gengsi. Jadi mantan konsul itu mendekati ayah yang
diketahuinya akan mewarisi rumah dan tanah itu.
Saya akan memberi
Anda sejumlah uang yang bisa Anda tanamkan sekehendak hati,“ usul orang
Jerman itu.“Kalau uang itu amblas, saya tidak akan mengeluh. Kalau
berkembang sampai sepuluh kali lipat atau lebih, berikanlah rumah dan
tanah itu untuk saya pergunakan seumur hidup.
Pada dasarnya ayah seorang penjudi. Ia selalu yakin nasib baik berada ditangannya. Karena
itu ia juga lebih suka mempunyai karyawan yang kepandaiannya sedang
sedang saja tetapi rezekinya besar daripada memperkerjakan orang yang
pandai yang tidak mempunyai hoki. Namun selain mengandalkan hoki, tentu saja ia juga pandai melihat situasi dan memanfaatkannya.
Tawaran dari mantan konsul itu sama saja dengan tantangan untuk
berjudi. Jadi ia bertanya berapa jumlah uang yang akan diberikan oleh
bekas konsul. Jawabannya mencengangkan dia: AS$ 300,000.
Ayah
segera setuju, tetapi tidak berburu nafsu menanamkan uangnya. Ia
berpikir ayahnya menjadi kaya berkat beras. Jawa memang cocok ditanami
padi, sementara itu tenaga kerja dan lahan murah. Tebu juga
terbukti cocok ditanam di tanah Jawa. Jadi, ayah membeli lahan luas
untuk ditanami tebu. Masa itu Revolusi Industri belum sampai ke Jawa,
tetapi ayah sudah mendengarnya,.
Ia mendatangkan ahli ahli dari
Jerman untuk memberi nasihat perihal mesin mesin yang diperlukan untuk
bercocok tanam dan mengolah tebu menjadi gula. Ia mendatangkan
mesin mesin dan lewat mantan konsul ia juga mengirimkan pemuda pemuda ke
Eropa untuk belajar menjalankan mesin mesin itu dan membetulkannya.
Suksesnya berkesinambungan sebab ia tidak pernah puas.
Ia peka terhadap setiap pembaharuan dan gagasan, sehingga tidak henti
hentinya menyekolahkan karyawan ke luar negeri supaya bisa mempelajari
hal hal yang baru. Mesin mesinnya terus diperbaharui dan pabriknya
mendapat aliran lsitrik lebih dulu daripada kediamannya.
Ayah berkata kepada saya,
”Jangan mau jadi orang biasa biasa saja. Kita mesti menjadi orang nomor satu.”
Kemudian ayah melebarkan sayapnya ke luar negeri dan ke bidang bidang
lainnya seperti kopra. Sekali ia menunjukkan kepada saya perkebunan
kopranya di luar kota Singapura. Saya berseru kagum ketika melihat
tanaman indah itu. Ayah berkata,
”Orang lain melihat pohon, aku melihat uang. Pohon kelapa tidak meminta banyak perawatan, tetapi mendatangkan banyak uang.”
Menurut saya, ayah bukan cuma berhasil berkat hoki, tetapi terutama oleh kepercayaan dirinya yang timbul karena ia menguasai bidang yang ia geluti. Akibatnya ia bisa cepat memutuskan segala sesuatu . Ia juga memiliki kepekaan untuk memilih waktu yang tepat.
Membuka Perwakilan di WallstreetPada kunjungan kami
yang pertama di Eropa, ayah membuka kantor perjualan di London dan
Amsterdam. Untuk mewakilinya di Amsterdam, ayah memperkerjakan seorang
Belanda bernama Peters, yang selalu saya panggil Pietro. Ayah mempunyai
kapal-kapal sendiri untuk mengangkut gula, kopra, dan tepung kanji. Ayah
yang tidak bisa berbahasa belanda, inggris, maupun Perancis itu
kemudian membuka perwakilan di Wallstreet, New York.
Asal Muasal
ia mengusahakan tapioka itu begini: suatu ketika seorang pemilik pabrik
tapioka di Semarang ingin menjual pabriknya yang merugi terus. Ayah
menukarkannya dengan sebuah rumah kecil. Pabrik itu diperbaikinya dan
dilengkapinya dengan mesin mesin. Tidak lama kemudian ia sudah menjual
1,5 juta ton tapioka ke Asia Timur laut.
Ketika kakek meninggal,
ayah menerima warisan rumah mantan konsul jerman itu. Sebetulnya ayah
bisa membayar kembali uang pinjamannya beberapa kali lipat, namun ia
menepati janjinya.
Bandul intan 80 karatKetika
ayah saya menjadi kayaraya dan mendapat gelar kehormatan Majoor der
Chinezen (1901) , saya sering ikut dengannya melakukan perjalanan
perjalanan bisnis. Ayah berpesan kepada para sekretarisnya.,”Belikan dia
semua yang diinginkannya”. Saya pun terbiasa untuk diistimewakan, untuk
menyimpang dari peraturan yang berlaku dan untuk mengharapkan semua
orang tahu bahwa saya anak ayah yang berkuasa.
Tidak ada seorang
anak Belanda pun yang memiliki rumah boneka seindah kepunyaan saya.
Tingginya sedagu saya, dibeli Pietro di Eropa. Saya bisa merangkak masuk
ke dalamnya. Perlengkapannya komplet dan penuh detail. Di kamar
mandinya ada handuk yang serasi. Ranjangnya memakai per dan kasur. Dalam
lemari pakaiannya bergantungan pakaian boneka boneka saya. Di dapurnya
ada panci, alat penggoreng, garpu dan pisau.
Di belakang rumah
kami ada kebun binatang, berisi kera, rusa, beruang, kasuari, dll. Kalau
ayah kembali dari bepergian, ia selalu membawa hadiah untuk saya
spasang kuda poni, sepasang anjing chihuahua, boneka atau apasaja.
Umur
saya belum tiga tahun ketika ibu mengalungkan bandulan intan 80 karat
ke leher saya. Besar intan itu sekepalan tangan saya dan tentu saja
menganggu gerak gerik dan bahkan menyakitkan saya. Namun ibu tidak
perduli. Suatu hari ketika pengasuh memandikan saya, ibu melihat dada
saya luka akibat intan itu. Barulah ibu melepaskannya. Sampai buku ini
ditulis. Intan itu masih saya miliki, tersimpan di sebuah bank di
London.
Jago Menyogok, tapi pantang disogok.8711_smallKetika
masih kecil, saya pernah ikut ayah ke Penang. Kakak saya Tjong Lan
tidak dekat dengan ayah. Ia bahkan takut. Di Penang,s aya tinggal di
kapal saat ayah turun ke darat. Kemudian datanglah seorang lanjut usia
ke kapal, menyerahkan sekotak uang emas kepada saya, sambil
membungkukkan badannya dalam dalam. Saya tidak tahu benda itu uang emas
inggris, yg nilainya 200,000 poundsterling. Saya kira cuma mainan. Waktu
ayah datang saya sedang bermain main dengan uang itu. Ayah bertanya
darimana saya mendapatkannya. Ia segera menyuruh orang mengembalikan
uang itu.
Rupanya pria lanjut usia yang naik ke kapal itu
bermaksud menyogok ayah dengan memberi hadiah berharga kepada anak
kesayangan ayah. Ayah pantang disogok, padahal ia sering menyogok
pejabat pejabat Belanda supaya usahanya lancar.
Ayah juga tidak
percaya kegunaaan pengawal pribadi. Ia lebih yakin pada caranya sendiri.
Setiap tahun ia memberi sejumlah uang kepada kelompok bandit yang
paling berpengaruh, untuk menangkal gangguan maling dan pembunuh.
Usahanya berhasil.
Keluarga kami merupakan satu satunya keluarga
Cina yang tinggal di luar pecinan. Masa itu kadang kadang orang Cina
diolok olok anakanak belanda yang bubar dari sekolah. Ayah mempunyai
cara untuk menanggulanginya. Ia turun dari kereta, lalu mendekati anak
yang paling besar. Kelihatannya kami pemimpin mereka,”katanya seraya
mengangsurkan sekeping uang emas.”Tolong urus mereka.”
Uangnya dikoporkanAyah
selalu berpakaian rapi, di luar maupun di dalam rumah. Kalau keluar, ia
selalu mengenakan setelan jas putih. Sepatunya pun putih. Di dalam
rumah ia memakai celana dari bahan batik dan jas tutup cina.
Kejantanan
dihargai tinggi di kalangan orang Cina. Seorang pria Cina boleh
memiliki gundik sebanyak yang ia mampu. Kadang kadang istri pertama
mencarikan gundik bagi suaminya, tetapi ibu saya tidak sudi melakukan
hal semua itu. Ibu saya bernama Bing Nio, yang kalau diterjemahkan ke
bahasa Inggris sama dengan Victoria. Ia berasal dari keluarga Goei.
Dalam keluarga itu, kaum prianya bertubuh besar, tetapi kaum
perempuannya bertubuh kecil. Nenek moyangnya berasal dari Shantung,
tetapi sudah bergenerasi generasi mereka tinggal di Jawa. Nenek saya
melahirkan 5 putri dan empat putra. Kelima putrinya cantik-cantik. Yang
paling cantik ibu saya. Kakek saya bekerja di bank dengan penghasilan
tidak seberapa.
Nenek saya dari pihak ayah mencarikan gadis
paling cantik di pecinan untuk dijadikan isteri ayah. Dari para comblang
ia mendengar perihal kecantikan ibu saya. Jadi ketika ibu berumur 15
tahun, Nenek Oei mengirimkan tandu keemasan untuk menjemputnya. Tandu
itu berarti orang tua phak laki laki menginginkan ia menjadi menantunya.
Pengantin perempuan tiba di rumah mertuanya dengan ditandu oleh empat
orang. Ia melakukan kowtow, yaitu berlutut dan menundukkan kepala sampai
dahi menyentuh lantai di hadapan mertuanya. Sampai saat itu pengantin
wanita belum pernah melihat calon suaminya, tetapi sejak itu hanya maut
yang bisa melepaskannya dari ikatan pernikahan. Pada masa itu perceraian
tidak pernah tejadi, kecuali kalau pihak perempuan melakukan salah satu
dari tujuh dosa tidak berampun.
Ayah menerima saja tradisi ini.
Tidak terpikir olehnya untuk menceraikan ibu yang tidak memberikan anak
laki laki. Cuma saja ia terus menerus menambah gundik dan banyak di
antara gundiknya itu yang memberinya anak laki laki. Ia juga tidak
pernah tinggal dengan salah seorang gundiknya itu, sampai muncul seorang
gundik bernama Lucy Ho, dalam hidupnya.
Karena tidak mempunyai
anak laki laki, ibu terus menerus merasa dirinya memiliki kekurangan dan
frustasi. Ayah tidak pernah menolak permintaaannya akan kebendaan,
bahkan juga setelah ibu meninggalkan ayah untuk tinggal bersama saya di
London. Ibu sering mengirim kawat untuk meminta uang.”Kirim
empat,”artinya ia meminta 4,000 poundsterling yang masa itu setara
dengan AS$ 25,000. Tanpa banyak cingcong, ayah akan mengirimkan uang
sebanyak yang diminta.
Pernah ketika masih tinggal di Semarang,
ketika saya berumur kira kira 12 tahun, saya terbangun oleh bunyi petir.
Saya berlari masuk ke kamar ibu. Ia sedang duduk di ranjang, menghitung
setumpuk tinggi uang di bawah kelap kelip lampu minyak. Saya begitu
terpesona sampai melupakan ketakutan saya. Ibu tersenyum dan
berbisik,”Ayahmu pulang membawa sekoper uang. Aku mengambilnya sebagian.
Ia tidak pernah menyadarinya.
Saya heran mengapa ibu tidak
meminta saja: Saya yakin ayah akan memberikannya. Mungkin ibu tidak mau
ayah tahu untuk apa uang itu. Pada masa itu kami tidak pernah membawa
bawa uang. Kalau kami menginginkan sesuatu, kami tinggal mengambilnya
saja di toko dan pemilik toko akan menagihnya kepada ayah. Saya rasa ibu
memberikan uang itu kepada keluarganya sendiri. Perempuan cina yang
tidak mempunyai anak laki laki memang memerlukan segala cara untuk
membangun egonya, kalau perlu dengan membeli. Kalau cuma untuk mencukupi
kebutuhan keluarga secara wajar saja, saya yakin ia tidak perlu
melakukan perbuatan itu. Namun kakek saya dari pihak ibu pecandu,
sedangkan suami dari beberapa saudara perempuannya sering berurusan
dengan pihak berwajib.
Ayah saya lahir pada tahun harimau,
sedangkan ibu pada tahun naga. Mereka sama sama tidak mau tunduk. Namun
ibu menyukai status sebagai isteri ayah. Ia mencintai perhiasannya. Di
luar rumah ia dianggap tokoh penting. Kalau ia pergi menonton sandiwara,
para pemain berlutut di hadapannya seusai pertunjukan. Lantas ibu akan
memberikan tip yang besar sekali.
Kalau pulang bertamu dari rumah
nyonya belanda, sering bajunya cuma disemat dengan peniti biasa, karena
penitinya yang bertaburkan permata ia hadiahkan kepada nyonya rumah
yang mengagumi perhiasannya itu. Ayah akan membelikannya yang baru. Yang
perlu ia lakukan hanya meminta.
Bersaudara 42 orangSaya
tidak begitu kenal saudara ibu. Seorang saudara perempuannya, menikah
dengan seorang pria yang cukup berada, tetapi tidak dikaruniai anak.
Jadi, bibi saya itu mengangkat dua anak perempuan, yaitu anak saudara
suaminya. Bertahun tahun kemudian, ternyata kedua anak angkatnya itu
menjadi gundik ayah. Yang seorang Cuma bertahan sebentar, karena ia
minggat dengan sopirnya, seorang pribumi. Adiknya tidak begitu cantik,
tetapi tubuhnya indah dan ia pandai, namanya Lucy Ho.
Setelah ibu
meninggalkan ayah untuk tinggal bersama saya di London, ayah dan Lucy
Ho pindah ke Singapura. Ayah keluar dari Jawa untuk menghindari pajak.
Lucy gundik yang penuh pengabdian. Ia mengurusi keuangan dengan cermat
dan ia memberi anak kepada ayah setiap tahun. Anak laki lakinya banyak.
Setelah tinggal dengan dia, ayah berubah. Walaupun uangnya tetap banyak,
ia tidak hidup mewah seperti yang disukainya semasa di Jawa.
Ironisnya
dari keluarga semacam kami ialah Putri Lucy yang sudah dewasa suatu
hari ketika bertemu dengan putri Tjong Swan (Saudara saya berlainan ibu)
di New York. Mereka jatuh cinta, tetapi tidak diperkenankan menikah
oleh hukum AS, sebab ayah si pemuda adalah kakek si gadis. Mereka
akhirnya menikah juga di Belanda. Mungkin hal itu bisa terlaksana berkat
pengaruh Tjong Hauw., adik saya berlainan ibu juga.
Di antara 42
saudara saya tidak seibu, hanya Tjong Swan dan Tjong Hauw yang cukup
dekat dengan saya. Keduanya diserahi mengurus usaha ayah di Jawa, ketika
ayah sudah pindah ke Singapura. Tjong Hauw diperoleh ayah dari seorang
perempuan yang ditipunya. Perempuan itu berasal dari udik. Ia tidak mau
dijadikan gundik. Ia ingin dijadikan istri. Ayah setuju, perempuan itu
dijemput dengan tandu. Namun di rumah tempat ia dibawa dilihatnya tidak
ada pesta, tidak ada mertua. Walaupun demikian ia tidak bisa kembali ke
orangtuanya sebab akan memberi aib. Hampir saja ia gila. Walaupun ia
memberi ayah empat putra, ayah memperlakukannya dengan kejam. Sebelum ia
disingkirkan, ayah menyuruhnya menjahitkan kelambu untuk gundik
berikutnya.
BandotSebelumnya ayah saya sudah
menjadikan seorang janda sebagai gundiknya. Ny Kiam membawa serta adik
perempuannya yang berumur kira kira sepuluh tahun dan seorang anak
perempuannya yang berumur dua atau tiga tahun. Ny Kiam sangat mencintai
ayah, tetapi ia tidak memberi ayah keturunan. Ketika adiknya berumur 15
atau 16 tahun, ayah menjadikannya gundiknya. Perempuan itu melahirkan
lima anak laki laki dan empat anak perempuan.
Karyawan ayah
menyebutnya isteri nomor dua. Di rumah kami tidak ada yang berani
mempergunakan sebutan itu, karena ibu tidak menyukainya. Kenyataannya ia
memberi ayah banyak anak laki laki. Ayah tidak menyukai putranya yang
pertama karena sangat dimanjakan oleh ibunya. Ayah memilih putranya yang
kedua Tjong Swan untuk menjadi andalannya di samping Tjong Hauw.
Lama
setelah itu,, ketika saya sudah menikah dengan Wellington Koo dan
singgah di Penang dalam perjalanan dari London menuju Beijing, dua orang
perempuan wajahnya menyenangkan menemui saya,”Kami adik adikmu,”kata
salah seorang diantaranya sambil tersenyum. Ternyata mereka itu putri
putri ayah dari cucu Ny. Kiam. Rupanya ketika ayah sudah bosan pada
istri nomor dua (adik Ny. Kiam), ayah menyingkirkannya untuk digantikan
oleh anak Ny. Kiam, yang ketika ibunya menjadi gundik ayah masih berumur
2 atau 3 tahun. Putri Ny. Kiam itu mempunyai dua anak perempuan dan
kedua duanya berkelingking bengkok. Kedua duanya menikah dengan orang
berada. Kata mereka, nenek mereka masih tinggal di rumah pemberian ayah
di Jawa.
Tahun 1927, Ketika saya kembali ke Jawa untuk menghadiri
pemakaman ayah, Ny. Kiam mendekati saya dengan kemalu-maluan. Ia
memanggil saya Nona dan menyerahkan gigi palsu ayah yang rupanya ia
simpan bertahun tahun untuk dimasukkan ke liang kuburnya. Saya turuti
kemauannya, sebab saya pikir ayah akan menganggapnya lucu.
Berlainan
dengan Ny. Kiam, gundik yang dulu ditipu ayah itu, yang melahirkan
Tjong Hauw, tidak datang ke pemakaman. Saya mengunjunginya di rumahnya.
Saya lihat ia masih memakai pending bertatahkan intan pemberian ayah:
Rupanya walaupun ia diperlakukan dengan buruk oleh ayah, ayah tidak
membiarkannya telantar.
Saya ingat, semasa kecil, saya keras
dibawa ayah ke rumah gundik gundiknya. Mereka tentu berusaha mengambil
hati saya, supaya ayah senang. Namun, ketika ibu tahu, ayah dimaki
makinya. Ibu kemudian minggat dari rumah dengan membawa saya. Saya sakit
keras dan dokter yang merawat saya memberitahu ayah. Ketika itu ibu
tetap tidak mau kembali. Ia baru pulang 2 bulan kemudian ke rumah kami
yang seperti istana.
Menjamu Raja SiamRumah kami
terletak di atas lahan yang luasnya lebih dari 93 ha. Rumah model cina
ini mempunyai taman yang dirancang khusus dengan kolam kolam dan
jembatan jembatan. Tukang kebun kami memiliki lima puluh anak buah.
Dapur kami ada tiga. Ibu mempunyai juru masak sendiri, yang keahliannya
memasak makanan Indonesia, sebab Ibu menyukai masakan indonesia. Ayah
menyukai masakan Cina dan Eropa. Dapur untuk memasak makanan Eropa
dikuasai oleh mantan koki kepala gubernur jenderal. Di situ tergantung
daging impor dari Australia. Tidak seorangpun diperkenankan masuk ke
sana oleh mantan koki gubjen itu. Saya pernah iseng memasukkan anjing
besar ke sana yang lantas menggondol daging impor. Dapur ketiga diurus
oleh dua orang koki Cina.
Jauh di belakang ada perumahan para
pelayan. Masih ada lagi rumah untuk guru pribadi kami (nona Jones), koki
kami, tukang pijit ibu, dan tukang cuci pakaian ibu. Untuk para tamu
tersedia dua pavilyun.
Ayah sering menjamu dan perjamuannya tidak
tanggung tanggung. Kami pernah menjamu raja Siam berikut haremnya. Kami
pun pernah diundang makan di kediaman gubernur jenderal Hindia Belanda.
Tjong
Lan dan saya tidak bersekolah di sekolah umum, padahal sebenarnya saya
ingin memiliki teman teman sebaya. Paling paling saya bisa bermain ke
rumah keluarga Belanda yang tinggal di lahan kami, Ibu pun tidak pernah
mengundang anak saudara saudaranya ke rumah kami.
Banyak yang diundang, tidak ada yang datangKetika
saya berumur 15 tahun, saya katakan kepada ayah, saya ingin mengadakan
pesta dansa bergaya inggris, seperti yang saya baca di The Tatler. Ayah
memperbolehkan. Memang saya diistimewakan, karena dianggap membawa
rezeki, bintangnya naik terus setelah kelahiran saya.
Ayah
menyewa 16 pemain musik yang dulu disewanya untuk perjamuan raja Siam.
Kamar makan kami dan pavilyunpanjang disiapkan untuk berdansa. Ayah
secara santai juga menyampaikan kepada para rekanan dagangnya agar
mendatangkan anak anak mereka ke pesta saya.
Hari besar itu pun
tiba. Para pemain musik datang dan menunjukkan kebolehannya, tetapi
tidak ada seorang tamu pun yang datang. Saya menangis dan ayah marah
sekali kepada para rekanannya. Kalau saya ingat lagi peristiwa itu. Saya
pikir, kami juga yang salah. Mestinya kami mengirimkan kartu undangan
resmi, sehingga mereka akan memberi tahu kalau tidak datang.
Untuk
meredakan kemarahan ayah, pengacaranya Baron van Heeckeren mengusahakan
agar putri putrinya mengadakan pesta dansa untuk menghormati saya,
dengan mengundang teman teman Belanda. Saya yakin maksud mereka baik,
tetapi saya terlalu angkuh untuk hadir.
Dicekoki Bahasa InggrisWaktu
kami pergi ke Belanda saya puasa juga karena ternyata Bahasa Belanda
saya lumayan. Kemudian ketika sudah menjadi isteri Wellington Koo dan
suama saya dijadikan duta Cina di AS, bahasa Belanda itu masih ada
gunanya. Pernah kami mengundang pemain film termasyhur waktu itu Tyrone
Power dan isterinya Linda Christian. Linda yang pemalu itu berasal dari
Belanda. Ia begitu tercengang mendapatkan isteri duta Cina bisa
berbahasa Belanda.
Di Rumah , ayah biasa berbahasa Hokkian,
tetapi dengan saya ia berbahasa Indonesia. Bahasa pertama yang saya
pelajari lewat pengasuh saya. Kemudian kakak saya mendapat pengasuh yang
diimpor dari Prancis dan kami belajar bahasa Perancis. Ayah meminta
Pietro mendatangkan guru pribadi buat kami dari Eropa dan datanglah
seorang Inggris, Nona Elizabeth Jones yang mencekokkan bahasa Inggris
kepada kami. Akhirnya saya lancar berbahasa Inggris dan tetap menjadi
anak didiknya sampai saya meninggalkan jawa untuk tinggal di Inggris
pada umur 15 atau 16 tahun.
Lewat tengah hari, kalau Tjong Lan
dan saya sudah selesai belajar dari Nona Jones, datanglah pelbagai guru
pribadi. Ada yang mengajarkan kaligrafi, seni berbicara, tarian cina
klasik dan juga musik. Ibu ngin anak anaknya tidak pemalu dan pandai
bergaul, supaya bisa memperoleh suami yang hebat. Saya pun disuruh
belajar menunggang kuda di Singapura.
Tjong Lan lebih tertutup
daripada saya. Ketika masih berumur belasan tahun, ia jatuh cinta dntgan
seorang dokter muda. Ibu melakukan penjajakan lewat comblang. Ternyata
keluarga pria itu ingin ayah membiayai praktek putranya. Ayah marah, ia
tidak mau membli menantu. Kalau saja Ibu mau menolong Tjong Lan, mungkin
ayah bisa dibujuk, tetapi ibu sependapat dengan ayah.
Mula mula NorakIbu
tidak suka ikut dengan ayah meninjau perkebunan, tetapi saya sering
dibawa serta. Ibu baru ikut kalau ayah pergi ke luar negeri. Waktu kami
sekeluarga pergi ke Eropa untuk pertama kalinya, kami membawa serta
beberapa pelayan. Pietro menjadi juru bahasa ayah dalam mengadakan
pelbagai transaksi, sedangkan isterinya yang bisa berbahasa Indonesia
sedikit, mengantar ibu dan Tjonglan berbelanja.
Ibu menyingkirkan
pakaian Cinanya untuk diganti dengan pakaian Eropa. Masa itu kami jauh
dari anggun. Kemana mana kami beriring iringan dengan beberapa mobil
atau kereta. Selera Pietro pun tidak halus, padahal kami mengandalkan
petunjuknya. Kami tinggal di hotel hotel kelas dua seperti Charing Cross
di London dan Grand di Paris, meskipun seluruh lantai diborong. Ketika
kami ke AS , ayah sudah berpengalaman. Kami tinggal di Waldorf Astoria.
Setahun
lamanya kami tinggal di Luar negeri. Ayah dan Pietro bekerja sedangkan
ibu dan Tjong Lan keluar masuk toko. Ibu tidak mau membeli barang
sembarangan. Ia selalu ingin paling top. Kalau sudah bosan berbelanja,
mereka masuk ke salon kecantikan. Malamnya, ibu, ayah, Tjong Lan dan
Pietro makan di restoran dan pergi ke kelab malam. Sementara itu saya
kesepian di hotel. Kadang kadang saya ditemani oleh Ny. Pietro.
Sementara itu para pelayan makan makanan Indonesia yang mereka masak
sendiri. Bahan bahannya dibelikan oleh Pietro.
Lama kemudian,
ketika saya sudah menjadi isteri Wellington Koo, saya sering geli
mengingat betapa naif dan tidak anggunnya kami masa itu. Saya
membayangkan betapa tercengangnya orang orang Eropa melihat ibu dan
Tjong lan keluyuran memakai perhiasan Intan, mirah dan Zamrud serta
seenaknya memesan barang mahal tanpa menanyakan dulu harganya.
Mobil Ditarik Sapi.Ketika
kami masih tinggal di Semarang, Tjong Lan yang waktu itu berumur 18
tahun dijodohkan dengan putra teman ibu. Teman ibu di Jakarta itu
mempunyai putra yang baru pulang dari Belanda. Ia lancar berbahasa
Belanda, Inggris dan Perancis. Namanya Ting Liang dari keluarga Kan yang
kaya dan terkemuka. Mereka menikah di rumah kami. Keluarga ibu tidak
diundang, sebab ayah marah kepada mereka.
Setelah Tjong Lan
menikah, ibu bercerita kepada saya bahwa ia menguatkan hatinya untuk
tetap tinggal di rumah kami, supaya Tjong Lan bisa menikah di rumah itu.
Tjong Lan dan suaminya pergi ke Eropa selama setahun dan ketika kembali
mereka membawa mobil kecil buatan perancis. Masa itu belum ada mobil di
tempat kami. Suatu hari saya mencuri curi mengendarainya dan menabrak
pohon.
Begitu melihat mobil Tjong Lan, ayah segera memesan mobil
Lancia yang besar dari Inggris, untuk mengemudikannya, ayah mendatangkan
sopir dari Jakarta, yang berpengalaman mengemudi di Singapura. Bila
dipakai di jalan rata, Lancia itu tidak merongrong, tetapi begitu
mendaki bukit ia tidak kuat menanjak, sehingga sopir harus pergi
meminjam 4 ekor sapi untuk menghelanya ke rumah kakek atau ke
pesangrahan ibu.
Kemudian ayah mengimpor sopir dari Inggris,
namanya Powell. Anehnya, sejak dikemudikan Powell, mobil itu bisa
menanjak tanpa bantuan ternak. Jangan jangan sopir lama tidak tahu kalau
mobil perlu ganti gigi supaya bisa menanjak.
Tjong Lan tinggal
dalam sebuah rumah dalam lingkunganhalaman kami juga. Para pelayannya
semua dari rumah kami, makanan untuknya dan untuk suaminya dibawakan
dari tempat kami. Sya bisa mengerti kalau suaminya tidak betah dan tidak
mau bekerja di perusahaan ayah. Ia ingin menjadi dokter dan ayah
mengirimkannya ke Eropa. Waktu itu mereka sudah mempunyai bayi, Bob Kan.
Seingat saya ipar saya kemudian tidak pernah membuka praktik. Anak
mereka kemudian belajar di Eropa di Eton (sekolah menengah mahal dan
berprestise di Inggris) dan kuliah di Cambridge Inggris.
Ketika
ayah sakit, doktenya mengusulkan agar ayah beristirahat di Eropa. Sekali
lagi ibu dan saya ikut. Pietro sudah pensiun tetapi ayah
mempekerjakannya lagi setahun. Ia menyewakan rumah bagi kami di Paris.
Sekali ini bahasa Prancis saya sudah bisa diandalkan untuk menjadi
penerjemah ibu. Ibu lebih mempercayai selera kakak ipar saya daripada
selera Pietro. Ia begitu jatuh hati kepada menantunya, sehingga kakak
saya dibelikannya sebuah rumah besar yang dilengkapi beberapa pelayan di
Wimbledon Inggris.
Ketika ayah, ibu dan saya pulang ke Jawa,
saya merasa kehidupan saya tidak kembali seperti semula. Ibu sudah tidak
tahan tinggal di Semarang, sebab gundik gundik ayah mempunyai sejumlah
anak laki laki yang meningkat dewasa dan merekalah yang akan mewarisi
perusahaan ayah. Apalagi kemudian ayah menyingkirkan semua gundiknya
demi Lucy Ho. Namun tentu saja tidak terlindak dalam pikiran ibu untuk
bercerai.
” Kini saya berpendapat, berkenalan dengan kaum ningrat
dan orang berduit tidaklah penting. Otak dan kepribadian lebih penting.
Kita bisa menderita akibat haus kekuasaan, tetapi kita bis mendapat
kesenangan dari sikap hormat, kesederhanaan dan sifat lurus. Kita
seharusnya menghargai orang orang lain dan hidup ini. Seperti kata ibu,
kita harus puas dengan yang kita miliki.”
Ayah pindah ke Singapura.Saya
sedih untuk berpisah dengan ayah, tetapi saya ikut dengan ibu ke
London. Kemudian ayah juga meninggalkan istana marmer kami untuk pindah
ke Singapura bersama Lucy Ho. Soalnya pemerintah Hindia Belanda
menekannya untuk menjual perkebunan perkebunan tebunya dengan harga AS$
70 juta. Ayah mempercayakan perusahaannya di Jawa kepada putra putranya
yang terpilih. Tjong Swan dan Tjong Hauw. Mereka bertugas melaksanakan
saran saran bisnis ayah dan melapor kepadanya.
Di London, ibu dan
saya tinggal di Brooke Street, dekat hotel hotel besar. Kami mempunyai
rumah lain di Wimbledon yang luas lahannya hampir 2,8 ha. Ibu mempunyai
mobil Roll Royce, lengkap dengan sopir dan footman (pelayan yang
tugasnya antara lain membukakan pintu mobil) Ipar saya mempunyai mobil
Daimler dan Fiat. Di Wimbledon kami mempunyai seorang butler (kepala
Pelayan) Cina, tiga gadis pembantu rumahtangga Inggris dan seorang sopir
Inggris. Selain itu, kakak saya memiliki seorang koki inggris dan ibu
membawa kokinya yang sudah lama bekerja padanya dari Jawa. Para pelayan
itu selalu saja bertengkar. Ibu saya yang biasa berbahasa jawa,
mengalami kesulitan bahasa dalam berkomunikasi dengan para pembantu.
Jadi, segalanya harus diurus oleh ipar saya, sebab kakak saya pun tidak
becus mengurus rumah. Dewasa ini, kalau saya pikir-pikir, ipar saya
sepatutnya mendapatkan gaji untuk jasanya sebagai majordomo (pengurus
rumah tangga)
Ipar sayalah yang pergi berbelanja dan membayar
rekening. Karena koki indonesia bawaan ibu tidak bisa berbahasa Inggris,
ipar saya pula yang ketiban tugas berbelanja ke pasar. Ipar saya harus
menyerahkan rekening rekening dan catatan pengeluaran rumah tangga kami
ke kantor ayah di Mincing Lane. Kalau saya pikirkan kembali, kami
bersalah menyia nyiakan bakatnya, dengan hanya menjadikannya Majordomo.
Mungkin ia bisa menjadi orang yang jauh lebih penting, kalau diberi
kesempatan lain.
Saya diberi ayah 400 poundsterling atau AS$
2,000 setahun untuk membeli pakaian. (Pada masa itu nilai poundsterling
dan dollar jauh lebih tinggi daripada sekarang). Tentu saja tidak cukup.
Saya sodorkan rekening rekening tagihan kepada Ting Liang. Ia sering
marah, padahal ayah selalu mau melunasi semua pengeluaran saya. Suatu
hari setelah bertengkar hebat dengan ipar saya, saya minta pindah. Saya
tinggal alam sebuah villa kecil di Curzon street, diurus seorang
pembantu rumah tangga prancis dan koki Prancis. Ting Liang tidak mau
membayar sewa ruamh saya dan gaji pelayan serta koki saya. Jadi saya
langsung mengirim telegram kepada ayah dan tanpa banyak cincong ayah
menaikkan jumlah uang belanja saya.
Di masa remaja itu saya
sangat menikmati dansa. Malam hari, saya pinjam mobil ibu lengkap dengan
sopirnya untuk pergi bersama dua sepupu saya ke pesta pesta dansa.
Sepupu sepupu saya itu adalah putra adik ibu yang di Singapura. Keduanya
mendapat beasiswa untuk belajar di London dari dermawan Singapura, Lim
Boo Keng. Teman teman saya masa itu diantaranya Guy Brook yang kemudian
menjadi Lord Brook dan pemuda pemuda yang kelak menjadi Earl of
Callodan, Sir Oliver duncan, dan Sir Hugo Cuncliffe Owen.
Saya
belajar menyetir mobil dan mendapat mobil Daimler kecil. Saat itu umur
saya belum genap 18 tahun dan London tahun 1918 masih sepi. Saya
menganjurkan Tjong Lan untuk belajar menyetir juga. Hubungan kami tidak
selalu mulus. Ia sering iri kepada saya. Pergaulannya terbatas pada
orang orang sekantor ayah ata para relasi bisnis. Ia dibesarkan di Jawa
sehingga tidak mengalami kebebasan seperti saya semasa mudanya. Padahal
ia cantik dan jauh lebih pandai daripada saya.
Bertemu Wellington KooWalaupun
bahasa Inggris Ibu saya sangat terbatas, berhasil juga ia mendapat
teman teman. Banyak teman temannya itu diperoleh lewat roti. Entah dari
mana ia belajar membuat roti. Seminggu sekali ia membuat roti dan
rotinya itu empuk serta lembut. Suatu hari, tetangga kami, Marquess of
Duferin dan isterinya datang, katanya karena tertarik bau roti yang
datang dari rumahkami. Sang Marquess kemudian belajar bahasa Cina dari
Ibu. Ia tidak berhasil memasukkan pelajaran itu ke otaknya, tetapi
setiap pulang selalu mengepit roti buatan ibu.
Putri Alice dari
Monaco (Saya rasa ia nenek Pangeran Rainer) juga bertandang karena roti.
Ia menjadi teman baik ibu. Ketika kami bepergian kemana mana, kami
selalu mendapat sambutan yang baik dari para bangsawan Eropa berkat
saran dari Putri Alice.
Kemudian Tjong Lan tinggal di Paris.
Suatu hari ia mengirim telegram kepada ibu, menganjurkan ibu dan saya
cepat cepat datang. Ternyata, salah seorang anggota delegasi pemerintah
Cina yang sedang mengadakan pembicaraan perihal perdamaian setelah PD I,
ingin berkenalan dengan saya setelah melihat foto saya di rumah Tjong
Lan. Nama anggota delegasi itu Wellington Koo. Walaupun umurnya baru 32
tahun, ia sudah duda karena isterinya meninggal muda. Almarhumah
isterinya adalah putri jenderal Tang yang terkenal.
Wellington
Koo adalah wakil Cina di AS dan ia lulusan Columbia University. Tjong
lan menganggap, ini kesempatan baik buat saya mendapat jodoh. Padahal
saya sama sekali tidak tertarik. Bayangkan duda berusia 32 tahun! Namun
ibu begitu bersemangat. Dengan ogah ogahan saya pun ikut ke Paris. Benar
saja dugaan saya. Gaya Wellington Koo kalah dibandingkan dengan gaya
pemuda pemuda teman saya. Rambutnya dicukur pendek model cepak yang kuno
itu. Pakaiannya bukan buatan penjahit Inggris terkemuka, tetapi dibeli
di sembarang toko biasa di AS. (Setelah menjadi suami saya, mau juga ia
memanjangkan rambutnya dan mengganti pakaiannya dengan yang lebih
anggun). Ia tidak bisa berdansa, tidak tahu soal menunggang kuda, dan
bahkan tidak bisa menyetir mobil.
Saat itu saya juga buta soal
politik. Saya tidak tahu mengapa Jenderal Tang memperlakukan Wellington
Koo dengan begitu hormat ketika mereka dijamu Tjong Lan. Saat itu
Wellington Koo ditempatkan di sebelah saya. Ternyata ia tidak berusaha
bercakap cakap tentang dunianya dengan saya. Ia menyesuaikan pembicaraan
dengan dunia saya dan sebelum perjamuan berakhir saya sudah agak
tertarik kepadanya.
Kami bercakap cakap dalam bahasa Inggris dan
menjelang akhir perjamuan ia berkata akan menjemput saya keesokan
ahrinya. Sebagai orang nomor dua dalam delegasi, ia mendapat fasilitas
mobil dan sopir dari pemerintah Perancis. Saya terkesan. Kami mempunyai
banyak mobil dan sopir, tetapi semuanya kami bayar sendiri. Wellington
Koo begitu penting rupanya, sehingga pemerintah negara asing menyediakan
mobil berpelat diplomatik baginya.
Saya lebih terkesan lagi
ketika di opera dan di teater kami mendapat tempat khusus yang
disediakan oleh pemerintah. Ayah tidak mungkin mendapat keistimewaan
seperti itu, walaupun ia bersedia membayar berapa saja.
Saya pun
berdandan serapi mungkin dan mengenakan pakaian saya yang paling indah.
Permen dan bunga bunga yang indah mengalir untuk saya dari Wellington
Koo, dari beberapa kali sehari ia menelepon saya. Kalau kebetulan saya
sedang tidak ada di rumah, ia pun mencari saya sampai dapat. Suatu hari
ketika sedang merawat tangan saya di Salon Elizabeth Arden, ia muncul.
Saya merasa tersanjung, sebab pria yang mempunyai kedudukan seperti dia
mau berbuat demikian demi saya.
Sekali, dalam percakapan saya katakan bahwa saya tidak mungkin diundang ke istana Buckingham, istana Elysee dan Gedung Putih.
Istri saya ikut diundang, kalau saya menghadiri perjamuan resmi di tempat tempat itu,”katanya.
“Tentu isterimu kan sudah meninggal,”kata saya.
Ya,
dan saya mempunyai 2 orang anak yang masih kecil, yang memerlukan ibu,“
ketika itu umur saya baru 19 tahun dan saya biasa berbicara tanpa
tedeng aling aling seperti ayah saya.
Jadi, kamu ingin menikah dengan saya,“tanya saya.
Ya,
dan saya harap kamu mau. Ia tidak berkata bahwa ia mencintai saya,
tidak juga bertanya apakah saya mencintai dia. Saya tercengang dan
berkata saya akan berpikir pikir dulu.
Menantu ImpianSaya
tahu apa yang akan dikatakan ibu. Wellington Koo merupakan menantu
impiannya. Kekagumannya kepada Wellington Koo tidak pernah padam. Ibu
tidak ragu ragu untuk memujinya secara terbuka. Ia sangat bangga menjadi
mertua Wellington Koo. Mungkin ibu lebih cocok buat Wellington Koo
daripada saya. (Wellington lahir di tahun babi sedangkan saya di tahun
Harimau!)
Tjong Lan memberi saran,”Hui Lan, kamu harus menikah
dengan Wellington Koo, jangan seperti saya yang bersuamikan orang yang
tidak berarti. Ingat, kamu akan menjadi Madame Wellington Koo dan orang
orang akan menyapamu Your Excellency.”
Ketika saya masih
ragu-ragu, ibu tidak sabar. Saya katakan bahwa saya tidak siap menjadi
ibu tiri. Menurut ibu, saya tidak perlu mengasuh sendiri anak anak tiri
saya. Mereka sudah mempunyai pengasuh. Kalau belum, ibu yang akan
mencarikan.
Ingat,“kata ibu kepada saya,“sekarang masih ada aku
yang akan melindungimu, tetapi aku ini berpenyakit diabetes. Kalau aku
sudah tidak ada, kamu kann tidak bisa hidup serumah dengan Tjong Lan,
karena kamu tidak akur dengan Ting Liang. Kamu tidak akan diperbolehkan
hidup sendiri oleh ayahmu. Kamu harus pulang ke ayahmu, padahal Lucy Ho
membencimu. Kamu bisa diracuni.“
Saya pun setuju menikah dengan
Wellington Koo. Dengan kegirangan ibu mengirim telegram kepada ayah.
Mata-mata ayah menemukan satu titik hitam dalam sejarah hidup Wellington
Koo. Ia pernah menikah dan bercerai di Shanghai, sebelum menikah dengan
putri jenderal Tang. Ayah balas menelegram ibu,“kalian tolol. Kalau Hui
Lan dinikahkan dengan Wellington Koo, ia tidak bisa menjadi istrinya,
karena Wellington Koo mempunyai istri yang masih hidup di Cina. Mengapa
kalian tega berbuat demikian kepada Hui Lan?”
Ibu tidak akan
mundur. Ibu sudah diberitahu oleh Wellington bahwa semasa kanak kanak ia
sudah dijodohkan dengan putri tabib yang menyembuhkannya dari penyakit
berat. Waktu pulang liburan dari Amerika Serikat (ia mahasiswa yang
cemerlang di Columbus University) tahu 1908, ibu dan kakak laki lakinya
mengirimkan tandu merah kepada putri tabib itu. Wellington yang lahir
1887 dengan taat membawa gadis desa yang tidak terpelajar ke New York.
Istrinya kemudian meminta dipulangkan karena tidak bisa menyesuaikan
diri dengan kehidupan di sana. Diadakanlah rapat keluarga yang
memutuskan mereka bercerai. Masa itu perceraian diakui kalau direstui
orang tua.
Kemudian Wellington menikah dengan gadis berpendidikan
barat, putri Tang Shao Yi, tangan kanan Presiden Yuan Shih Kai. Setelah
mendapat gelar master dari Columbus dan lulus dari sekolah hukum di
Yale, Wellington Koo kembali ke Cina untuk menjadi sekretaris dan
penerjemah bagi Yuan di Beijing.
Wellington Koo berasal dari
keluarga yang tidak kaya tidak pula miskin. Mereka termasuk kuno. Kaki
ibunya masih diikat dan ibunya itu hanya bisa berbahasa Cina dialek
Shanghai, serta tidak pernah pergi jauh dari rumah. Ketika bersekolah di
Amerika Serikat, Wellington hanya bisa tinggal di asrama murah dan
hidup sederhana sekali. Istrinya, putri Jenderal yang berpendidikan
barat itu penurut, berbeda dengan saya.
Pertunangan kami
diumumkan di Hotel Ritz di Paris, sedangkan pernikahan kami
dilangsungkan di kedutaan Cina di Brussels, Belgia. Hari itu Tjong Lan
sakit, sehingga hanya ibu yang hadir. Ayah dan keluarga Wellington tidak
bisa datang karena jarak yang jauh. Pernikahan harus dilangsungkan
sebelum Wellington menggantikan Alfred Tse sebagai Minister (Jabatan
yang lebih rendah dari duta) Cina di London. Saya mendapat hadiah
Rolls-Royce dari ibu. Seragam sopirnya dibuat di Dunhill. Ibu juga
menghadiahkan peralatan makan dari perak, yang waktu itu harganya 10,000
poundsterling. Benda itu masih saya miliki sampai sekarang, walaupun
sudah lama sekali disimpan di bank dengan ongkos US$200 dollar setahun.
Sarung
bantal bagi kami diberi kancing yang berhiaskan intan. Semua itu tentu
saja ayah yang membayar, meskipun ibu yang membelinya. Hadiah perhiasan
dari Wellington termasuk sederhana bila dibandingkan dengan yang saya
dapat dari ibu.
Cintanya hanya untuk Cina.Ketika
kami sudah berada di hotel, saya menanggalkan pakaian pengantin saya
yang dibuat dari Callot untuk berganti dengan negligee yang seksi untuk
menyenangkan suami saya. Ternyata ia tidak memperhatikan saya ketika
saya memasuki ruang duduk suite kami. Ia sedng sibuk bekerja dikelilingi
empat sekretarisnya. Jadi saya duduk saja menunggunya.
Malam itu
juga kami harus berangkat dengan kereta api ke Jenewa. Karena keesokan
harinya Liga Bangsa-Bangsa dibuka dan Wellington Koo merupakan ketua
delegasi Cina. Perhatian Wellington Koo hanya untuk Cina. Ia memang
orang yang diperlukan oleh Cina, tetapi bukan suami yang tepat untuk
saya. Otaknya cemerlang, tetapi ia tidak mampu bersikap mesra dan
menunjukkan kelembutan.
Sore itu, sebelum berangkat untuk
menghadiri resepsi pernikahan yang diadakan bagi kami oleh wakil cina
untuk Spanyol yang khusus datang dengan istrinya. Pesta resmi itu
dihadiri pejabat2 Prancis, Belgia, dsb. Ibu ikut dengan kami ke Jenewa.
Pagi pagi saya dibangunkan oleh Wellington yang ternyata sudah berdandan
rapi dan sudah sarapan. Katanya, di stasiun kami akan disambut seluruh
delegasi cina. Cepat2 saya berdandan. Saya mendapat karangan bunga mawar
yang besar sekali dari penyambut. Ibu saya juga, sehingga ia senang
sekali.
Kami mendapat suite yang mengesankan di hotel Beau Rivage
yang menghadap ke danau. Suami saya segera diambil para sekretaris
untuk rapat. Wellington mengingatkan saya bahwa ibu saya berada di hotel
itu juga dan mungkin menunggu saya. Jadi, saya pergi menemui ibu. Kami
makan siang bersama lalu pergi berbelanja. Rasanya seperti belum menikah
saja.
Saya sangat tercengang dan juga tersinggung ketika
Wellington dan Wang mengatur tempat duduk tamu di perjamuan yang kami
adakan tanpa meminta pendapat saya sama sekali. Saya bergidik melihat
kartu bertuliskan nam orang yang akan duduk di kiri kanan saya, karena
mereka orang orang yang sangat membosankan. Jadi, saya atur kembali
letak kartu2 di meja perjamuan. Tahu-tahu, ketika saya sedang berdandan,
Wellington masuk,“Hui Lan, ini bukan pesta pribadimu,“katanya. Kamu
menjamu mewakili Cina, sehingga para tamu harus didudukkan sesuai dengan
tingkatan mereka, agar tidak ada seorangpun yang merasa terhina atau
hilang muka.“ Itulah pelajaran pertama yang saya dapat mengenai
protokol. Kemudian saya sangat ahli dalam mengatur tempat duduk para
tamu, sehingga tugas itu diserahkan kepada saya, bukan kepada pejabat
kedutaan besar, yaitu setelah hubungan kami dengan negara negara
meningkat menjadi kedutaan besar.
Suami lebih suka memakai mobil bekas.Sejak
semula Wellington gigih memperjuangkan pemulangan Shantung dari Jepang
kepada Cina. Sebelum menikah dengannya saya tidak tahu menahu perihal
itu, namun saya belajar dan mulai menginsafi posisi dan tanggungjawabnya
yang besar.
Kami sering harus menghadiri resepsi resmi, Ia
terlalu sibuk untuk memperhatikan pakaian saya, padahal saya mendapat
banyak pujian. Suatu malam, sepulang resepsi, saya tanyakan kepadanya
apakah sikap saya selama ini cukup memuaskan dan tidak dipergunjingkan
orang? Ia mendekati saya. Saya kira ia akan memeluk saya, ternyata ia
hanya mau mencopot anting anting intan saya. “Saya sudah memberi kamu
perhiasan satu satunya yang bisa saya belikan,”katanya.”Saya ingin kamu
memakainya, bukan perhiasan dari orang lain, walaupun banyak dikagumi
dan dibicarakan orang.”
Saya tertegun. Perhiasan yang saya
kenakan, sebagian besar pilihan ibu dan dibayar oleh ayah. Saya
tersinggung karena suami saya menghendaki perhiasan itu disingkirkan. Ia
memang menikah dengan saya bukan karena uang saya, terapi ia tahu
perhiasan itu merupakan bagian dari saya.
Ia juga menyarankan
agar pesanan Rolls Royce dibatalkan saja, sebab ia tidak sanggup membeli
Rolls Royce. “Ayah bisa dan dia memberinya kepada kita,”jawab saya.
Kata Wellington, ia akan membeli mobil bekas Alfred Sze. Mobil bekas
dengan seragam sopir yang juga bekas? Jangan harap saya mau,”jawab saya.
Akhirnya Wellington berkata, saya boleh naik Rolls Royce saya, tetapi
ia sendiri akan naik mobil bekas Sze.
Roll Royce pesanan ibu
menjadi bahan percakapan di London. Tampaknya Wellington tidak perduli.
Ia juga tidak perduli saya terus menerima kiriman uang dari ayah. Pikir
saya, goblok sekali kalau saya tidak memanfaatkan pemberian itu.
Sementara itu saya juga mulai menikmati menjadi istri seseorang yang
banyak perhatian dan penting.
Saya mendesak Wellington untuk
memugar dan mengganti perabot kami di Portland Place yang suram itu. Ia
mengingatkan bahwa Cina tidak kuat membayarnya. Ayah memiliki banyak
uang. Keluar beberapa ribu dollar tidak berarti apa apa baginya,”desak
saya. Ia mengingatkan bahwa semua yang saya bayar akan menjadi milik
Cina. Saya tidak perduli. Ketika itu tidak pernah terpikir oleh saya
bahwa uang ayah bisa habis. Tidak pernah terlintas dalam pikiran saya
bahwa,”Tiada Pesta yang tidak berakhir.” Pepatah itu, menurut teman lama
saya, E.T. Cheng yang kemudian menjadi dutabesar di London, adalah
pepatah Cina yang paling menyedihkan.
Tampak serasi padahal tidak sejalan.Masa
itu banyak hal yang tidak saya pahami. Namun saya tahu dari ayah bahwa
uang bisa berbuat banyak. Bagi saya, hidup lebih mewah daripada yang
dimungkinkan oleh gaji Wellington bukanlah masalah. Hal itu tidak
merugikan Cina, malah menguntungkan, sebab biayanya saya dapat dari ayah
saya.
Saya masih ingat, ketika dengan pertama kali ke Istana
Buckingham yaitu saat Wellinton menyerahkan surat-surat kepercayaan
kepada Raja George V dan Permaisuri Mary. Putri Alice sebelumnya sudah
mengajari saya curtsy, yaitu cara wanita memberi hormat kepada keluarga
raja2. Ia juga berpesan agar saya jangan berbicara kalau tidak ditanya.
Keluar dari istana, Wellinton berkomentar,”Kita ini memang pasangan yang
hebat,” Ya, makin lama saya bertambah matang. Saya pandai mengatur
seperti ayah dan memiliki selera seperti ibu. Saya pasangan yang sepdan
bagi Wellington. Begitulah tampangnya dari luar, padahal pernikahan kami
tidak berjalan dengan mulus.
Orang orang mengagumi otak suami
saya, tetapi kami cuma negara kelas dua, sebab masa itu Cina bukan
negara yang kuat. Kekuatan2 besar cuma mengirimkan wakil setingkat
minister ke Beijing, bukan duta besar. Kami ditempatkan jauh di bawah
para dubes. Suatu kali, ketika pulang dari suatu upacara, dengan
bergurau saya katakan kepada Wellington,”Saya tidak ingin seumur hidup
menjadi istri Minister, Kapan kamu menjadi dubes?” Bisa dipahami kalau
Wellinton jengkel.“Kalau kamu tidak puas dengan keadaanmu sekarang,
kapan pun kamu tidak akan puas. Saya tidak bisa mendapat kedudukan lebih
tinggi lagi dari ini, minister untuk Istana Saint James!”
Putra
sulung saya lahir di Washington, 30 Januari 1922, ketika suami saya
menghadiri konferensi pembatasan Persenjataan, yang juga membicarakan
nasib Shantung. Wellington memilih nama Kai Yuen yang berarti “zaman
baru”. Namun nama resmi putra kami itu Yu Chang yang diberi oleh abang
sulung suami saya. Namun sejak semula orang orang lain memanggil putra
kami Wellington junior, sehingga seterusnya kami sebut ia junior.
Ayah berubahTahun
1916 keadaan cina kacau. Presiden Yuan Shih Kai meninggal tidak lama
setelah berusaha menjadikan dirinya kaisar. Penggantinya lemah,
Wellington yang sudah tujuh tahun meninggalkan cina dipanggil pulang.
Dalam perjalanan ke Cina dengan S.S. Khyber kami singgah di Singapura.
Tahu tahu pintu kabin kami diketuk pelayan. “Seorang pria berpakaian
putih ingin bertemu dengan Anda, Madame. Katanya, beliau ayah saya.”
Dengan
kegembiraan meluap luap saya membuka pintu. Saya perkenalkan ayah
kepada Wellington. Mereka bersalaman secara formal seperti orang Eropa.
Keesokan harinya saya dijemput ayah dengan perahunya sendiri. Di
Pelabuhan sudah menunggu mobil bersopir. Namun, ketika tiba di kediaman
ayah merasa ibu. Tidak ada istal, tidak ada bermacam macam dapur.
Pelayan pun tidak banyak. Ayah bahkan tidak memiliki pelayan pribadi. Di
lahan tmepat tinggalnya berdiri beberapa rumah. Rumah tempat tinggal
denganLucy Ho mirip rumah pengusaha kecil Bahkan air leding dan WC
dudukpun tidak ada.
Berulang ulang saya bertanya mengapa ia hidup
seperti itu. Kemana ciri2 kemegahannya ? Ia tidak menjawab pertanyaan
pertanyaan itu. Katanya, bisnisnya berjalan seperti biasa, Hauw maupun
Swan bisa diandalkan. Kantor ayah di Singapura pun berjalan dengan baik,
tetapi ia jarang ke sana.
Saya begitu sedih menyaksikan
perubahan cara hidupnya dan melihat semangatnya merosot dalam mengurusi
bisnis. Akhirnya ia berjanji kepada saya akan membeli mobil baru dan
akan melengkapi salah sebuah rumah di lahannya dengan segala
kemewahan,termasuk air leding dan WC.
Ayah berkata, saya tidak
perlu khawatir. Neraca pribadinya bahkan lebih beres, karena ditangani
sendiri oleh Lucy Ho. Berlainan dengan gundiknya yang lain . Lucy Ho
terpelajar. Saya tetap khawatir. Saya tahu, tidak semua istri setia.
Mengapa Lucy Ho membiarkan dirinya terikat pada pria yang menghamilinya
setiap tahun ? Saya memperingatkan ayah agar jangan mencampuradukkan
seks dengan bisnis. Ayah tertawa,”kamu dan ibumu akan jauh lebih kaya,
kalau pemasukan dan pengeluaran uang kalian seperti Lucy Ho.”Saya pun
tertawa dan menjawab,”Buat apa saya repot2 mengurusi neraca dan
menelusuri kemana uang saya kalau saya mempunyai ayah seperti ini?”
Sama
seperti saya, Lucy Ho rupanya lebih suka kalau kami tidak bertemu muka.
Ia hanya muncul kalau makan siang. Ia mengenakan saraung dan berkebaya
putih. Ia bertelanjang kaki dan rambutnya disanggul. Sanggulnya itu
disemat dengan tusuk sanggul Kami bersikap resmi dan ia memasang wajah
tidak ramah. Siangnya, waktu saya tanyakan kepada ayah apakah ia tidak
rindu istananya di Semarang dan kemegahan hidupnya di masa lalu, ayah
menggeleng. Saya merasa sedih. Lucy Ho sudah berhasil menghapuskan
kenangan lama ayah dan saya tidak berhasil membujuknya untuk hidup
menurut caranya yang lama. Kata ayah, Lucy Ho berlainan dengan saya dan
ibu. Ia tidak terbiasa hidup dikelilingi banyak pelayan. Kehadiran
banyak pelayan membuatnya risih.
Dibelikan istanaTampaknya
ayah dan Wellington tidak saling menyukai. Mereka memang berbeda.
Wellington memberi saya posisi yang penting di mata dunia. Ayah memberi
saya uang untuk menaikkan gengsi jabatan Wellinton, membelikan Rolls
Royce yang kini berada di dalam kapal, dan menjadikan saya perempuan
yang ingin dinikahi oleh Wellington
“Kamu perlu uang saku?” tanya
ayah dengan lembut ketika sopir mengantarkan saya ke
kapal.”Selalu,”jawab saya. Ayah menjejalkan uang kertas ke tas saya yang
jumlahnya ternyata lebih dari US$ 50,000. Saya tidak tahu apakah Lucy
Ho tahu ayah memberi saya uang sebanyak itu. Yang jelas, saya tidak
memberitahu Wellington.
Di Shanghai kami disambut dengan meriah.
Kakak sulung Wellington sudah menyewakan kami rumah yang dianggapnya
hebat sekali, tetapi menurut ukuran saya sangat mengecewakan karena
tidak memiliki air leding dan WC duduk. Tempat tidurnya keras, karena
berupa ranjang kayu tradisional. Jadi, saya membawa anak anak dan para
pelayan inggris kami ke hotel. Wellington sebenarnya tidak setuju karena
tidak mau menyinggung perasaan abangnya.
Dengan uang ayah , kami
berhasil mendapat istana di Beijing. Istana itu memiliki 200 ruangan
dan terletak di tanah seluas kira2 4,6 ha. Istana itu dijual murah oleh
pemiliknya, US$100,000, karena ia takut disita oleh pemerintah. Saya
menghabiskan US$ 150,000 lagi untuk mendandaninya. Uangnya tentu saja
saya daat dari ayah. Istana itu dibangun Kaiser pada abad XVII untuk
seorang gundik yang paling dicintainya. Di istana ini kemudian Dr.
SunYat Sen presiden pertama Cina, meninggal 1925.
Di sini kami
mempunyai 40 pelayan. Saya tidak usah pusing mengurusinya, karena Wang
yang setia bertindak sebagai majordomo. Putra kedua, saya lahir diistana
ini 24 Juli 1923 malam. Wang membangunkan Wellington untuk memberi
tahu.
Tuan, Anda mendapat putra Ketiga.”
Bagus,”jawab Wellington yang segera mengatupkan matanya kembali.
Saya
terlalu naif untuk mengharapkan suami saya, memberi penghargaan atau
menunjukkan kepuasan. Lama kelamaan saya insaf bahwa bayi dan anak anak
tidak begitu menarik baginya. (Ketika Wellington sudah menjadi dubes di
Paris, pernah ia berpapasan dengan Junior di jalan, yang sedang berjalan
jalan dengan pengasuhnya. Namun Wellington tidak menegurnya sepatah
kata pun. Setiba di rumah, Junior berkata kepada saya,”Ibu saya rasa ia
tidak mengenal saya.”)
Putra saya yang kedua diberi nama Fu Chang
oleh abang sulung Wellington, tetapi ia sering dipanggil Freeman. Bekas
raja Muda India, Marquess of Wellingdon yang nama aslinya Freeman
Freeman Thomas, memberinya nama demikian. Nama Cina sulit diucapkan
olehlidah barat. Karena itulah suami saya mendapat nama Barat dari guru
atau teman, yang mendekati bunyi nama aslinya. Hui Lan tidak sulit
diucapkan , sehingga saya tidak perlu ganti nama.
Ayah Merasa LelahPada
masa itu, kalau sya pulang dari bepergian, saya sering menemukan jepit
rambut perempuan atau bedak di ruang duduk saya. Wellington pun sering
pergi berakhir minggu entah kemana. Di Pihak saya sendiri, tidak pernah
terpikir oleh saya untuk menyeleweng, walaupun saya digoda. Menurut
orang tua tua, tidak pantas saya pergi berbulan bulan ke tempat ayah,
meninggalkan suami. Kalau saja Wellington keberatan, saya tidak akan
pergi berlama lama. Namun ia selalu sibuk dan tidak pernah kelihatan
gembira kalau saya pulang dari mana nana.
Kalau saya kaji kembali
sejarah hidup saya, saya hanya pernah sekali jatuh cinta, yaitu ketika
saya masih berumur belasan tahun di Singapura. Orang tua saya sama
sekali tidak setuju pada pilihan saya. Mungkin mereka benar. Ketika
berpuluh tahun kemudian saya bertemu kembali dengan Siao Kuan, saya juga
kecewa.
Ketika saya menemui ayah kembali di Singapura, rumah
yang dijanjikannya belum selesai. Ayah menyewakan serangkaian kamar di
Raffles Hotel. Hampir setiap malam kami makan bersama. Setiap kali saya
hanya berniat untuk tinggal beberapa minggu, tetapi akhirnya menjadi
berbulan bulan. Pada kunjungan ke singapura sekali ini, di luar dugaan,
saya diundang gubernur jenderal ke perjamuan di rumahnya. Saya pikir,
ini kesempatan bagi saya untuk mengajak ayah. Ia senang sekali, sebab
kesempatan seperti ini, tidak bisa dibeli dengan uang. Karena tidak
mempunyai rencana untuk menghadiri perjamuan di rumah gubernur jenderal,
saya tidak membawa perhiasan mahal ke Singapura. Ketika ayah melihat
saya memakai perhiasan biasa, ia masuk ke rumahnya dan ketika kembali ia
melemparkan ke pangkuan saya perhiasan intan yang besanya berpuluh
puluh karat.
Orang Cina yang dundang cuma kami berdua dan Sir
Robert Ho tung dari Hong Kong. Selebihnya orang Inggris. Padahal ayah
tidak paham bahasa Inggris dan ingin duduk di sebelah saya. Saya
jelaskan masalahnya pada ajudan gubernur jenderal, yang lantas
menempatkan ayah di sebelah saya. Malam itu semua berjalan lancar, cuma
saja nyonya rumah yaitu Lady Guillemard mungkin heran melihat pengaturan
tempat duduk berubah.
Pulangnya saya mentraktir ayah makan di
pecinan. Di sini ia merasa bebas, sebab tidak ada pengalang bahasa.
Ketika kembali ke Cina, saya bawa perhiasan yang malam itu saya pakai ke
Perjamuan. Soalnya, ayah tidak memintanya kembali. Saya tidak tahu
apakah perhiasan itu milik Lucy Ho atau bukan.
Saya masih bertemu
ayah sekali lagi. Suatu ketika ia menulis surat, memberi tahu villa
saya sudah hampir selesai dan saya diminta memberi saran
penyelesaiannya. Saya datang ke Singapura. Pada kesempatan ini ayah
diramal oleh seorang India. Kata orang itu semua orang hanya mencintai
ayah karena uangnya. Cuma ada satu orang yang benar benar mencintainya.
Ia memperingatkan bahwa ada musuh yang akan meracuni ayah. Saya khawatir
dan mengajak ayah meninggalkan Singapura, tetapi ayah tidak mau. Ia
tenang saja. Dengan was was saya meninggalkan ayah. Kata katanya yang
terakhir ketika mengantarkan saya ke kapal adalah,“Hui Lan, aku lelah.“
Oei Tiong Ham meninggalTiga
bulan kemudian, saya menerima kawat dari Tjong Swan, yang memberitahu
ayah meninggal tiba tiba akibat serangan jantung pada 6 Juni 1924.
Inilah awal masa suram bagi saya. Selama ia hidup, saya tahu saya aman.
Bukan hanya dalam hal keuangan, tetapi lebih dari itu. Selama ada ayah,
tidak seorang pun berani berbuat jahat terhadap saya.
Saya
memberitahu ibu di London dan mengajaknya menghadiri pemakaman. Ibu
menolak, saya takut pergi sendiri. Jadi, Wellington menyarankan saya
membawa Wang, majordomo kami yang setia dan seorang pelayan perempuan ke
Singapura. Peti Jenazah sudah ditutup, dikelilingi orang orang yang
benar benar asing buat saya, yaitu teman teman Lucy Ho. Saya insaf,
sekarang saya orang luar.
Mengingat ramalan orang india beberapa
waktu lalu, saya meminta jenazah ayah diautopsi, sebab saya curiga Lucy
Ho meracuninya. Namun menurut penasihat hukum di Singapura, sebagai anak
perempuan almarhum saya tidak berhak meminta autopsi terhadap jenazah
ayah. Kalau ibu hadir, dia lah yang berhak memintanya.
Tjong Wan
dan Tjong Hauw mengatur pemakaman yang akan dilakukan di Semarang.
Jenazah ayah diangkut dengan kapal. Tjong hauw mengosongkan rumahnya
supaya bisa saya tempati. Ia sendiri mengungsi ke rumah lain. Sebagai
anak istri sah, saya duduk di kerta pertama yang mengiringi jenazah ke
pemakaman. Swan, Hauw , dan para putra ayah dari gundik gundiknya
berjalan di belakang kami. Pemakaman dilaksanakan tanpa biksu. Saya
merupakan orang pertama yang diminta melemparkan tanah ke liang lahat.
Untuk mencegah pertemuan dengan Lucy Ho dan anak anaknya, saya segera
meninggalkan tempat itu.
Saya diberitahu bahwa Lucy Ho dan anak
anaknya berani pindah ke istana kami, tetapi hal itu sudah tidak berarti
apa apa lagi buat saya. Saya bahkan tidak sampai hati melihat rumah itu
lagi. Saya tinggal beberapa hari di Semarang untuk menjenguk keluarga
ibu. Mereka menjamu saya di sebuah hotel, yang paling baik di Semarang
sehingga saya merasa terharu.
Ayah memberi saya warisan yang
dijanjikannya. Ibu mendapat beberapa juta dollar dan Tjong Lan mendapat
satu juta dollar. Namun perusahaan ayah dibagi antara Tjong Hauw, Tjong
Swan dan Lucy Ho. Saya yakin kalau ibu datang, ia bisa membatalkan surat
wasiat ayah. Swan setelah upacara berkabung selesai, segera menjual
bagiannya kepada Hauw dan Lucy Ho. Kemudian Swan pindah ke Belanda.
Hauw
memang sudah dekat dengan Lucy Ho dan lebih dekat lagi sejak Lucy Ho
pindah ke Jawa. Mereka sudah meninggal sekarang. Saya dengar Lucy Ho
meninggal di Swiss akibat kanker. Swan meninggal akibat infeksi gigi
yang ditelantarkan dan pada 1951 Hauw pun meninggal di Jakarta karena
serangan Jantung.
Bisnis ayah di Indonesia diam diam diambil oleh
Jepan dan sisanya kemudian diambil oleh pemerintah Soekarno. Belum lama
ini saya dengar, warisan yang saya terima dari ayah masih berada atas
nama saya. Suatu ketika mungkin saya bisa menjualnya.
Tahun
1936;Wellington menjadi dubes cina pertama untuk Prancis. Saya pergi ke
Paris, meninggalkan banyak harta benda saya di Cina. Saya juga
meninggalkan perhiasan almarhumah isteri Wellington di sebuah bank di
Shanghai, dengan maksud akan diberikan kepada putri mereka, Pat, kalau
Pat sudah dewasa. Tidak terpikir oleh kami kalau semuanya akan amblas,
karena Cina kemudian dikuasai oleh Komunis.
Diundang IbusuriMusim
dingin 1943 Wellington dijadikan dubes di London. Kami berteman baik
dengan Menteri Luar Negeri Anthony Eden dan pernah dijamu oleh PM
Churchill, kemudian juga oleh PM Attlee. Suatu hari saya mendapat
undangan dari Ibu Suri Mary. Kemudian saya balas mengundangnya untuk
makan malam di kedubes kami.
Tinggal di rumah bekas penemu teleponKami
bisa mengadakan perjamuan megah dsb, berkat uang warisan dari ayah,
sebab apara duta besar waktu itu cuma US$ 600 sebulan, ditambah
tunjangan perjamuan, rumah , supir dan pelayan kami peroleh dengan
gratis.
Pakaian saya selalu saya usahakan dari kain sulaman cina
kuno yang saya jdikan pakaian modern,tetapi dengan sentuhan cina. Baru
setelah kain kain cina itu usang di masa perang dan saya tidak lagi
mendapatkannya lagi, saya berganti berpakaian eropa.
Teman baik
saya semasa di London adalah Joseph Kennedy, Jr. Sayang, ia gugur dalam
perang. Kalau tidak , pasti ia menjadi menjadi presiden AS.
Saya
ikut menjadi sukarelawan Palang Merah Inggris di bawah Edwina
Mountbatten di masa perang itu. Saya menjalankan tugas2 saya dengan
tertib. Perkara ketertiban saya bsia diandalkan, sebab ibu dan ayah
sangat menetapi waktu. Berbeda dengan Wellington yang terlambat melulu.
Tahun
1945, putra saya Freeman ingin menjadi tentara nasionalis cina. Saya
meminta Wellington mempergunakan pengaruhnya. Freeman pun menjadi ajudan
seorang jenderal. Hal ini bisa tejadi antara lain karena kefasihan
Freeman berbahasa Inggris.
Tahun 1946 Wellington menjadi dubes
cina untuk AS. Kedubes cina di washington tadinya rumah penemu telepon
Alexander Graham Bell. Tetangga di sebelah rumah saya adalah Marjorie
Merriweather Post yang kaya raya itu. Kalau mengundang saya ke pestanya
ia selalu berpesan,”Jangan ajak Wellington.”Hubungannya dengan suaminya
pun tidak baik, ketika itu, ia bersuamikan Davies.
Pada masa
Wellington menjadi dubes AS ini, Madame Chiang Kai Shek (isteri presiden
Cina Nasionalis) pernah menjadi tamu kami. Ia boleh dikatakan tidak
mengenakan perhiasan dan makanan permintaannya sederhana sekali. Karena
suaminya tidak bisa berbahasa Inggris, madame Chiang yang mendapat
pendidikan di AS itulah yang diutus ke AS untuk berpidato di hadapan
kongres. Menurut saya, Chiang pun orang yang sederhana dan makannya
sedikit sekali. Lingkungannyalah yang brengsek.
Kami juga
berhubungan baik dengan wakil presiden Richard M. Nixon dan isterinya
yang bijaksana itu. Kami sempat menghadiri upacara pelantikan presiden
Harry S. Truman dan Presiden Dwight D. Eisenhower.
Ibu pernah
tinggal bersama saya, tetapi kemudian menderita kanker sehingga harus
dirawat di sebuah rumah sakit di New York. Ketika ibu meninggal tidak
lama kemudian, Wellington mengusahakan pemakaman yang paling megah, yang
dihadiri oleh para pejabat cina dan para dubes. Sembahyangan dilakukan
dengan pimpinan biksu, saya merasa sangat kehilangan sampai lama sekali.
Hari Mendung tiba.Berkat
intrik dari orang yang sebenarnya dekat dengan kami, Wellington ditarik
pulang. Ketika itu pemerintah Cina Nasionalis sudah pindah ke Taiwan.
Saya membawa beberapa pakaian dan mobil saya meninggalkan Wellington dan
kedubes. Ketika itu tahun 1956. Sudah sepuluh tahun kami tinggal di
Washington. Saya menyewa apartemen di Sutton Palace, New York, tempat
saya hidup ditemani dua anjing peking saya. Waktu itu saya belum tahu
bagaimana caranya menyalakan oven ataupun merebus telur, jangankan lagi
memasak. Wang ikut dengan Wellington, sedangkan kedua pelayan saya
memilih bekerja di tempat lain sementara koki kami membuka restoran.
Kemudian
saya belajar memasak dari Pat, putri tiri saya yang dulu rajin
memperhatikan koki kami memasak. Kini saya bisa memasak ayam dengan
paprika, tim ikan dengan tausi dan pelbagai macam makanan dar bahan
laut. Saya pun mencari perabotan praktis saja. Saya masih memiliki
beberapa perabot yang dulu saya beli dan juga pemberian ibu. Perhiasan
saya, saya taruh di bank, tetapi sebagian saya simpan di rumah.
Suatu
hari sepulang mengajak anjing saya berjalan jalan, saya disergap
perampok. Dua orang bule itu mengikat kaki dan tangan saya dan membuntal
saya dengan selimut seperti lumpia saja. Mereka tampaknya tahu betul
dimana saya menyimpan perhiasan saya. Perhiasan senilai seperempat juta
dollar itu amblas mereka gondol.
Setelah perang usai, sulit
sekali mengurus rumah rumah kami di pelbagai tempat di eropa. Dengan
susah payah berhasil juga saya menjualnya, walaupun dengan harga murah.
Saya mengagumi Ny. Kung, seorang Methodist yang tabah. Ia menghibur
saya,“Apa pun milik kita yang hilang, jika Anda mencintai Tuhan, Anda
tidak akan terpengaruh.“
Pesta sudah berakhirKini
saya jarang menjamu dan enggan menghadiri perjamuan. Kalaupun sekali2
saya hadir, saya tidak sakit ditempatkan di bagian meja mana pun, asal
jangan di kolongnya.
Saya merasa masih beruntung sebab Pat, anak
anak saya, dan cucu cucu saya semua tetap hormat dan mendengarkan kata
kata saya. Putra Sulung Wellington masuk AU Nasionalis dan berada di
Taiwan. Ketika salah seorang putra saya sakit dan gundiknya menjenguk ke
rumah sakit, saya memukul kepala perempuan itu dengan payung. Putra
saya mungkin tidak senang, tetapi ia tidak berani berbuat apa apa, sebab
saya ibunya. Menantu saya, Edith, sangat berbakti terhadap saya. Kalau
ayah mertuanya mengundang ia makan, ia selalu permisi dulu kepada saya
sebelum menghadirinya. Wellington tinggal di Mount Vernon bersama
seorang perempuan yang diperkenalkannya kepada semua orang sebagai
isterinya, tetapi saya tetap menganggapnya sebagai gundiknya, sebab saya
tetap Ny. Wellington Koo yang sah.
Saya merasa mempunya
pertalian emosional dengan Indonesia tempat saya dilahirkan. Ayah tidak
pernah mengajari saya berbisnis. Pada tahun 1968 saya pernah mencoba
melaksanakan bisnis di Indonesia bersama dua rekanan perempuan Timur.
Kami ingin mengusahakan perkapalan, tembakau dan sepeda tetapi gagal.
Kini
saya berpendapat, berkenalan dengan kaum ningrat dan orang berduit
tidaklah penting. Otak dan kepribadian lebih penting. Kita bisa
menderita akibat haus kekuasaan, tetapi kita bis mendapat kesenangan
dari sikap hormat, kesederhanaan dan sifat lurus. Kita seharusnya
menghargai orang orang lain dan hidup ini. Seperti kata ibu, kita harus
puas dengan yang kita miliki.
Tjong Lan sudah meninggal di New
York tahun 1970. Suaminya meninggal setahun sebelumnya. Banyak teman
baik saya pun sudah meninggal, tetapi saya banyak mendapat teman baru
yang masih muda. Saya sering mengenang anjing anjing saya yang sudah
mati, yang memberi saya cinta kasih dan kebahagiaan pada tahun tahun
terakhir. Saya harap suatu waktu kelak mereka akan dilahirkan lagi.
Kalau demikan halnya, saya yakin kami akan saling mengenali.
Catatan
Redaksi: Oei Hui Lan masih bisa memberi kata pendahuluan untuk buku
Raja Gula Oei Tiong Ham yang ditulis Liem Tjwan Ling, Maret 1978. Ketika
itu Hui Lan masih menjadi Chief Executive Amerabia Corporation.
Inilah
akhir dari sebuah pelajaran hidup yang lantas menjadi sebuah sejarah
yang patut kita simpan dan jadikan bagian dari kehidupan yang mempunyai
arti jika harta bukanlah nyawa dalam sebuah kehidupan yang bahagia.